Senin, 11 Mei 2015

Orpala Kadipa, Sejarah Pencinta Alam Indonesia (Bagian IV/Habis)

ORPALA KADIPA, Di Indonesia sejarah pecinta alam dimulai dari sebuah perkumpulan yaitu “Perkumpulan Pentjinta Alam”(PPA) yang berdiri pada 18 Oktober 1953.

PPA merupakan perkumpulan Hobby yang diartikan sebagai suatu kegemaran positif serta suci, terlepas dari ‘sifat maniak’ yang semata-mata melepaskan nafsunya dalam corak negatif. Tujuan mereka sebagai pendiri yakni memperluas serta mempertinggi rasa cinta terhadap alam seisinya dalam kalangan anggotanya dan masyarakat umumnya.

Sayang perkumpulanini tak berumur panjang. Di antara sekian banyak faktor penyebab bubarnya PPA yakni pergolakan politik dan suasana yang belum terlalu mendukung sehingga akhirnya PPA bubar di akhir tahun 1960.

Awibowo adalah pendiri satu perkumpulan pencinta alam pertama di tanah air mengusulkan istilah pencinta alam karena cinta lebih dalam maknanya daripada gemar/suka yang mengandung makna eksploitasi belaka, tapi cinta mengandung makna mengabdi.

“Bukankah kita dituntut untuk mengabdi kepada negeri ini?.” Sejarah pencinta alam kampus pada era tahun 1960-an. Pada saat itu kegiatan politik praktis mahasiswa dibatasi dengan keluarnya SK 028/3/1978 tentang pembekuan total kegiatan Dewan Mahasiswa dan Senat Mahasiswa yang melahirkan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).

Lnatas, gagasan ini mula-mula dikemukakan Soe Hok Gie pada suatu sore, 8 November 1964, saat mahasiswa FSUI sedang beristirahat setelah mengadakan kerjabakti di TMP Kalibata.

Sebenarnya gagasan ini, seperti yang dikemukakan Soe Hok Gie sendiri, diilhami oleh organisasi pencinta alam yang didirikan oleh beberapa orang mahasiswa FSUI pada tanggal 19 Agustus 1964 di Puncak gunung Pangrango.
Organisasi yang bernama Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi keanggotaannya tidak terbatas di kalangan mahasiswa saja. Semua yang berminat dapat menjadi anggota setelah melalui seleksi yang ketat.

Namun disayangkan, organisasi ini mati pada usianya yang kedua. Pada pertemuan kedua yang diadakan di Unit III bawah gedung FSUI Rawamangun, di depan ruang perpustakaan.

Hadir pada saat itu Herman O. Lantang yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa FSUI, dicedtuskan nama organisasi yang akan lahir adalah IMPALA, singkatan dari Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam. Setelah bertukar pikiran dengan Pembantu Dekan III bidang Mahalum, yaitu Drs Bambang Soemadio dan Drs Moendardjito yang ternyata menaruh minat terhadap organisasi tersebut dan menyarankan agar mengubah nama IMPALA menjadi MAPALA PRAJNAPARAMITA. Alasannya nama IMPALA terlalu borjuis. Nama ini diberikan oleh Bpk Moendardjito. Mapala merupakan singkatan dari Mahasiswa Pencinta Alam. Dan Prajnaparamita berarti Dewi Pengetahuan.

Mapala juga berarti berbuah atau berhasil. Jadi dengan menggunakan nama ini diharapkan segala sesuatu yang dilaksanakan oleh anggotanya akan selalu berhasil berkat lindungan dewi pengetahuan.

Ide pencetusan memang didasari dari faktor politis selain dari hobi individual pengikutnya, dimaksudkan juga untuk mewadahi para mahasiswa yang sudah muak dengan organisasi mahasiswa lain yang sangat berbau politik dan perkembangannya mempunyai iklim yang tidak sedap dalam hubungannya antar organisasi.

Dalam tulisannya di Bara Eka 13 Maret 1966, Soe mengatakan:
“Tujuan Mapala ini adalah mencoba untuk membangunkan kembali idealisme di kalangan mahasiswa untuk secara jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat dan almamaternya. Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang tidak percaya bahwa patriotisme itu masih ada yang lebih berwenang untuk menentukan hidup dan mati seseorang. MAPALA, Pencinta alam atau Petualang? Dua nama, pencinta alam dan petualang seolah-olah merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa di pisahkan antara keduanya.”

Namun kalau dilihat secara etimologi kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia akan nampak kelihatan bahwa keduanya tidak ada hubungan satu sama lainnya. Dalam KBBI, pecinta (alam) ialah orang yang sangat suka akan (alam), sedangkan petualang ialah orang yang suka mencari pengalaman yang sulit-sulit, berbahaya, mengandung resiko tinggi dan sebagainya. Dengan demikian, secara etimologi jelas disiratkan dimana keduanya memiliki arah dan tujuan yang berbeda, meskipun ruang gerak aktivitas yang dipergunakan keduanya sama, alam.

Di lain pihak, perbedaan itu tidak sebatas lingkup “istilah” saja, tetapi juga langkah yang dijalankan. Seorang pencinta alam lebih populer dengan gerakan enviromentalisme-nya, sementara itu, petualang lebih aktivitasnya lebih lekat dengan aktivitas-aktivitas Adventure-nya seperti pendakian gunung, pemanjatan tebing, pengarungan sungai dan masih banyak lagi kegiatan yang menjadikan alam sebagai medianya.

Kini yang sering ditanyakan ketika kerusakan alam di negeri ini semakin parah, di manakah pencinta alam? begitupun dengan para petualang yang menggunakan alam sebagai medianya. Bahkan Tak jarang aktivitas “mereka” berakhir dengan terjadinya tindakan yang justru sangat menyimpang dari makna sebagai pecinta alam, misalkan terjadinya praktek-paktek vandalisme.


Inilah sebenarnya yang harus di kembalikan tujuan dan arahnya sehingga jelas fungsi dan gerak merekapun bukan hanya sebagai ajang hura-hura belaka. keberadaaan mereka belum mencirikan kejelasan arah gerak dan pola pengembangan kelompoknya. Jangankan mencitrakan kelompoknya sebagai pecinta alam, sebagai petualang pun tidak. Aktivitas mereka cenderung merupakan aksi-aksi spontanitas yang terdorong atau bahkan terseret oleh medan ego yang tinggi dan sekian image yang telah terlebih dulu dicitrakan, dengan demikian banyak di antara para “pencinta alam” itu cuma sebatas “gaya” yang menggunakan alam sebagai alat. (habis)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan dilihat, tapi silahkan berkomentar. Terimakasih, Salam Lestari..