ORPALA KADIPA, Di Indonesia sejarah pecinta alam dimulai dari sebuah perkumpulan
yaitu “Perkumpulan Pentjinta Alam”(PPA) yang berdiri pada 18 Oktober 1953.
PPA merupakan perkumpulan
Hobby yang diartikan sebagai suatu kegemaran positif serta suci, terlepas dari
‘sifat maniak’ yang semata-mata melepaskan nafsunya dalam corak negatif. Tujuan
mereka sebagai pendiri yakni memperluas serta mempertinggi rasa cinta terhadap
alam seisinya dalam kalangan anggotanya dan masyarakat umumnya.
Sayang perkumpulanini tak
berumur panjang. Di antara sekian banyak faktor penyebab bubarnya PPA yakni pergolakan
politik dan suasana yang belum terlalu mendukung sehingga akhirnya PPA bubar di
akhir tahun 1960.
Awibowo adalah pendiri
satu perkumpulan pencinta alam pertama di tanah air mengusulkan istilah
pencinta alam karena cinta lebih dalam maknanya daripada gemar/suka yang
mengandung makna eksploitasi belaka, tapi cinta mengandung makna mengabdi.
“Bukankah kita dituntut
untuk mengabdi kepada negeri ini?.” Sejarah pencinta alam kampus pada era tahun
1960-an. Pada saat itu kegiatan politik praktis mahasiswa dibatasi dengan
keluarnya SK 028/3/1978 tentang pembekuan total kegiatan Dewan Mahasiswa dan
Senat Mahasiswa yang melahirkan konsep Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).
Lnatas, gagasan ini mula-mula
dikemukakan Soe Hok Gie pada suatu sore, 8 November 1964, saat mahasiswa FSUI
sedang beristirahat setelah mengadakan kerjabakti di TMP Kalibata.
Sebenarnya gagasan ini,
seperti yang dikemukakan Soe Hok Gie sendiri, diilhami oleh organisasi pencinta
alam yang didirikan oleh beberapa orang mahasiswa FSUI pada tanggal 19 Agustus
1964 di Puncak gunung Pangrango.
Organisasi yang bernama
Ikatan Pencinta Alam Mandalawangi keanggotaannya tidak terbatas di kalangan
mahasiswa saja. Semua yang berminat dapat menjadi anggota setelah melalui
seleksi yang ketat.
Namun disayangkan, organisasi
ini mati pada usianya yang kedua. Pada pertemuan kedua yang diadakan di Unit
III bawah gedung FSUI Rawamangun, di depan ruang perpustakaan.
Hadir pada saat itu
Herman O. Lantang yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa
FSUI, dicedtuskan nama organisasi yang akan lahir adalah IMPALA, singkatan dari
Ikatan Mahasiswa Pencinta Alam. Setelah bertukar pikiran dengan Pembantu Dekan
III bidang Mahalum, yaitu Drs Bambang Soemadio dan Drs Moendardjito yang
ternyata menaruh minat terhadap organisasi tersebut dan menyarankan agar
mengubah nama IMPALA menjadi MAPALA PRAJNAPARAMITA. Alasannya nama IMPALA
terlalu borjuis. Nama ini diberikan oleh Bpk Moendardjito. Mapala merupakan
singkatan dari Mahasiswa Pencinta Alam. Dan Prajnaparamita berarti Dewi
Pengetahuan.
Mapala juga berarti
berbuah atau berhasil. Jadi dengan menggunakan nama ini diharapkan segala
sesuatu yang dilaksanakan oleh anggotanya akan selalu berhasil berkat lindungan
dewi pengetahuan.
Ide pencetusan memang
didasari dari faktor politis selain dari hobi individual pengikutnya,
dimaksudkan juga untuk mewadahi para mahasiswa yang sudah muak dengan
organisasi mahasiswa lain yang sangat berbau politik dan perkembangannya
mempunyai iklim yang tidak sedap dalam hubungannya antar organisasi.
Dalam tulisannya di Bara
Eka 13 Maret 1966, Soe mengatakan:
“Tujuan Mapala ini adalah
mencoba untuk membangunkan kembali idealisme di kalangan mahasiswa untuk secara
jujur dan benar-benar mencintai alam, tanah air, rakyat dan almamaternya.
Mereka adalah sekelompok mahasiswa yang tidak percaya bahwa patriotisme itu
masih ada yang lebih berwenang untuk menentukan hidup dan mati seseorang. MAPALA,
Pencinta alam atau Petualang? Dua nama, pencinta alam dan petualang seolah-olah
merupakan satu kesatuan utuh yang tidak bisa di pisahkan antara keduanya.”
Namun kalau dilihat
secara etimologi kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia akan nampak kelihatan
bahwa keduanya tidak ada hubungan satu sama lainnya. Dalam KBBI, pecinta (alam)
ialah orang yang sangat suka akan (alam), sedangkan petualang ialah orang yang
suka mencari pengalaman yang sulit-sulit, berbahaya, mengandung resiko tinggi dan
sebagainya. Dengan demikian, secara etimologi jelas disiratkan dimana keduanya
memiliki arah dan tujuan yang berbeda, meskipun ruang gerak aktivitas yang dipergunakan
keduanya sama, alam.
Di lain pihak, perbedaan
itu tidak sebatas lingkup “istilah” saja, tetapi juga langkah yang dijalankan.
Seorang pencinta alam lebih populer dengan gerakan enviromentalisme-nya,
sementara itu, petualang lebih aktivitasnya lebih lekat dengan
aktivitas-aktivitas Adventure-nya seperti pendakian gunung, pemanjatan tebing,
pengarungan sungai dan masih banyak lagi kegiatan yang menjadikan alam sebagai
medianya.
Kini yang sering ditanyakan
ketika kerusakan alam di negeri ini semakin parah, di manakah pencinta alam?
begitupun dengan para petualang yang menggunakan alam sebagai medianya. Bahkan
Tak jarang aktivitas “mereka” berakhir dengan terjadinya tindakan yang justru
sangat menyimpang dari makna sebagai pecinta alam, misalkan terjadinya
praktek-paktek vandalisme.
Inilah sebenarnya yang
harus di kembalikan tujuan dan arahnya sehingga jelas fungsi dan gerak
merekapun bukan hanya sebagai ajang hura-hura belaka. keberadaaan mereka belum
mencirikan kejelasan arah gerak dan pola pengembangan kelompoknya. Jangankan
mencitrakan kelompoknya sebagai pecinta alam, sebagai petualang pun tidak.
Aktivitas mereka cenderung merupakan aksi-aksi spontanitas yang terdorong atau
bahkan terseret oleh medan ego yang tinggi dan sekian image yang telah terlebih
dulu dicitrakan, dengan demikian banyak di antara para “pencinta alam” itu cuma
sebatas “gaya” yang menggunakan alam sebagai alat. (habis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Jangan dilihat, tapi silahkan berkomentar. Terimakasih, Salam Lestari..